Perjalanan Abstrak 992/digital art Arie Tulus 2017
Beberapa pertanyaan mendasar yang perlu dilontarkan pada awal tulisan dalam buku ini diantaranya adalah : Siapakah-siapakah mereka yang disebut sebagai pelukis-pelukis Sulawesi Utara? Kapan mereka ada, dan bagaimanakah bentuk karya-karya yang sudah pernah mereka ciptakan selama ini?
Pelukis – pelukis Sulawesi Utara, sudah jelas adalah mereka yang berprofesi sebagai pelukis atau dalam bahasa kamus menyebutnya sebagai seniman dalam seni lukis1 yang pernah ada dan berkarya di wilayah provinsi Sulawesi Utara.
Sejarah telah mencatat bahwa nama seorang Frederik Kasenda sebagai pelukis potret pertama yang muncul di daerah ini pada tahun 1930-an, kemudian menyusul Henk Ngantung di tahun 1936 ketika itu baru berusia 15 tahun terdorong memamerkan karya-karyanya di Tomohon karena mendapat semangat dan pujian dari bapak E.Katoppo sebagai bekas gurunya ketika itu masih dibangku Sekolah Dasar.2
Konon pada pameran tersebut, para pengunjung tertarik membeli lukisan-lukisan Henk Ngantung, tapi setahun kemudian (1937) pelukis yang banyak menghasilkan karya sketsa-sketsa hitam putih tinta di atas kertas gambar ini hijrah ke pulau Jawa tetap berprofesi sebagai pelukis, dan bersama Chairil Anwar , Asrul Sani, ia ikut mendirikan "Gelanggang" hingga menjadi Gubernur DKI Jakarta di era kepemimpinan Presiden Soekarno pada masa jabatan tahun 1964-1965.3
Tahun 1957 setelah dua puluh tahun kemudian muncul nama pelukis Alexander Bastian Wetik dengan karya-karya lukisnya yang banyak terpengaruh dengan gaya dan corak dari pelukis S.Soedjojono dan Hendra Gunawan. Pelukis bergaya realis ini pulang kampung setelah sekian lama berlanglangbuana di Negara Belanda dan Roma, terlebih di pulau Jawa dengan segudang pengalamannya ketika itu bersama-sama dengan pelukis Nashar dan Wakijan mendirikan Sanggar Matahari.
Pak Wetik adalah seorang seniman dan guru yang tidak jemu-jemu mendorong dan membangkitkan semangat para pelukis-pelukis masa depan Sulawesi Utara dimasa hidupnya, sehingga beliau disebut-sebut juga sebagai pelopor dan penganjur seni yang sangat berperan dalam upaya mengangkat citra seni rupa di daerah Nyiur Melambai ini.
Selain ketiga nama pelukis yang sudah disebutkan di atas, muncul juga nama-nama pelukis lain diantaranya Victor Makasutji yang lebih dikenal sebagai pelukis pemandangan alam dengan teknik sapuan paletnya yang memukau, lalu Tawakal Mokodompit (Pak Moko), Jan Talangi Mingkid, Fransiscus Tumbel, T.Pangalila, Silow, Boy Jehosua, dll. Tapi sayang sekali beberapa nama yang sudah disebutkan seperti Frederik Kasenda, Fransiscus Tumbel, T.Pangalila, Silow, Boy Jehosua, karya-karya mereka hingga kini masih sulit dilacak keberadaannya hingga saat penulisan buku ini.
Jelang pecahnya pergolakan Permesta hingga tahun 1968, suasana seni lukis Sulawesi Utara menjadi lesu. Tahun 1969 tiba-tiba muncul nama Jan Agustinus Pangkey yang baru menyelesaikan studinya di Universitas Diponegoro (Undip) mendirikan jurusan Seni Rupa di Fakultas Keguruan Sastra Seni IKIP Manado. Olehnya Jan Agustinus Pangkey telah dianggap sebagai seorang tokoh, pioneer pendidik seni rupa di Sulawesi Utara. Ketika beliau mendirikan Jurusan Seni Rupa di FKSS IKIP Manado, ia menggandeng Seniman Alexander Bastian Wetik, Pastor Reuter, dan Pastor Angelo (dua missioner Belanda Gereja Katolik) yang ada di Seminari Pineleng menjadi staf dosen di lembaga ini.
Seiring dengan perjalanannya, jurusan seni rupa ini semakin diminati dengan bertambahnya staf pengajar lainnya seperti Drs. Simon Petrus Mokalu seorang sarjana seni rupa jeblosan IKIP Jakarta, Tawakal Mokodompit (Pak Moko) ASRI Jogja, Ir. Jan Wowor. Drs.Muchsin, HN.Nanga, Victor Makasutji, Jan Talangi Mingkid, serta tiga orang dosen/pelukis dari Jawa seperti ; Drs.Fransiscus Bambang Ariadi, Drs. Ilham Nasikin, Drs. Brury, dan Amir Lahabu ketika itu sebagai asisten dosen. Dari tangan-tangan mereka itulah lembaga pendidikan seni rupa ini menjadi semakin diminati sehingga bermunculan pelukis-pelukis akademik yang banyak kali memelopori berbagai kegiatan pameran seni lukis di dalam dan di luar kampus IKIP Manado.
Tahun 1983 untuk pertama kalinya kata Seniman Muda Sulawesi Utara didengungkan ketika sekelompok pelukis akademik terdiri dari pelukis Johny Rondonuwu, Jantje.Arie Sumerah, Ruddy Pakasi, Arie Tulus, John Semuel, Ruly Rantung, Johanis Saul dan Enoch Saul mengadakan pameran lukisan bersama di Aula SPG Kristen Kuranga Tomohon. Kemudian tahun 1984 kelompok ini mengadakan pameran keliling Sulawesi Utara. Tercatat pelukis-pelukis yang ikut dalam barisan Seniman Muda Sulawesi Utara pada pameran ini adalah: Johny Rondonuwu, Ruddy Pakasi, Fransiscus Bambang Ariadi, Amir Lahabu, Johanis Saul, Jerry manus, John Semuel, Adolf Sumual, Arie Tulus, Ferdinand Pangkey, Yans Mangare, serta pelukis Karel Takumansang dan Timmy Katoppo sebagai penggerak kegiatan.
Ada nuansa baru ketika kelompok Seniman Muda Sulawesi Utara ini bergerak dengan kegitan-kegiatannya sehingga muncul pula nama-nama pelukis otodidak lainnya seperti: Sonny Lengkong, Jaya Masloman, Jongke Manus, Frans Towoliu, Hendrik Mamahit, Gustaf Rambing, Johanis Malo, Djemy Tomuka, Fredi Padang, Yapi Pongtuluran, Hendra Rakasiwi, Tjitji Hanibe, John.J.Gaghana, dll. Menyusul kemudian tahun 1990-an hingga akhir-akhir ini hadir pelukis-pelukis akademik dan otodidak lainnya ikut pula mewarnai dunia seni lukis Sulawesi Utara seperti: Ilham Nasikin, Maria Budiyatmi, T.Tumimbang, Jimmy Manus, Deni Katili, Samsudin Samal, Elbamun Mingkid, Jefry Watimena, Alfred Pontolondo, Tek Pangestu, Yosef T. Sikome, Michael Palilingan, Noval Bravo Sanudin, Yoko Rarun, Rizal Tamsir, Altje Wantania, Alvin J Tinangon dsb.
-------------
2. Arie Tulus. Sejarah Perjalanan Seni Lukis Sulawesi Utara (Studi Perkembangan dari Period ke periode)
3. https://id.wikipedia.org/wiki/Henk_Ngantung
Catatan:
Tulisan ini di copy paste dari buku Pelukis-Pelukis Sulawesi Utara dan Karya-Karyanya
oleh Arie Tulus yang diterbitkan oleh LP2AI Unima 2016