Rabu, 16 Oktober 2013

Cintaku Berbunga di Kampus Berbukit (2) Oleh Arie Tulus


2.

Kalau saja orang tua ku tidak pernah menasehatiku, atau sekalipun telah berulang-ulang kali segala wejangan klasik sampai modern itu ditebarkan, aku sendiri cuma menganggapnya sebagai angin yang bertiup dari laut kemudian masuk diterowongan kiri keluar di terowongan kosong kanan, maka  jelas sekali aku tidak lagi berstatus sebagai mahasiswa sah yang terdaftar dalam buku registrasi jurusan, fakultas bahkan di universitas yang ada di kampus berbukit ini, karena kemungkinan besar aku terdampar di jalan-jalan yang justru membawa dan memenjarakan diriku pada ikatan-ikatan percuma.

Tapi begitulah aku, bukan ingin memuji diri sendiri, karena sampai sekarang inipun aku tak pernah berniat membuang segala kata-kata hikmat bagai permata mulia yang datang dari orang tuaku sendiri. Jangankan orang tua sendiri, nasihat dari orang lainpun yang tidak ada kaitannya dengan asal-usul persaudaraan, kalau itu semua mengandung arti dan makna yang bisa membawa diriku pada nilai-nilai kehidupan yang bisa membanggakan orang tua, Negara dan Bangsa terlebih masa depanku, aku tak mesti pakai kalkulator untuk menghitungnya lagi berdasarkan rumus-rumus seperti yang ada di dalam penelitian kwantitatif untuk mencari kejelasan apakah ada korelasi antara variable x terhadap Y ? Sudah tentu tak tak perlu seperti itu . Kecuali nantinya aku akan mengadakan penelitian skripsi dengan judul “Pengaruh Pacaran  terhadap keberhasilan dalam kontrak mata kuliah dari semester pertama sampai akhir bagi mahasiswa-mahasiswa di kampus berbukit” ? Ha, ini komang so musti pake rumus-rumus. 

Ini baru ancang-ancang, nanti aku akan berkonsultasi dengan dosen Pembimbing Akademik atau dosen mata kuliah metodologi penelitian, apakah  boleh meneliti dengan judul itu? Atau dengan judul apa dan bagaimana? Hehehehe. Kalau begini ya mesti pakai rumus. Sekarang aku mau nanya ? Jika nasihat atau wejangan positif, apa musti pakai rumus pertimbangan terima tidak, terima tidak, tidak terima, terima? Ayo gimana Bro ?  Yang jelas bagiku, sejauh semua itu ada kebaikan-kebaikan dan ada unsur-unsur kebenaran,  aku mesti, dan harus menerimanya,  menangkapnya, lalu menjadikan semua itu sebagai harta kekayaan yang paling berharga diantara kekayaan-kekayaan yang ada di dunia yang fana ini, dimana kemungkinan besar pula semua itu dapat aku ceritrakan, atau bagikan kepada orang lain, dan kepada keturunanku nanti jika sudah menikah dan punya anak.

Cita-cita dan harapanku ini, jika Tuhan berkenan sesuai doa-doa yang aku panjatkan, begitu selesai kuliah, menyandang gelar sarjana, bekerja sesuai dengan disiplin ilmu yang aku tempuh di perguruan tinggi ini, jadi PNS atau bekerja dan berusaha menciptakan lapangan kerja sendiri kalau belum jadi pegawai negeri sipil. Asalkan jangan sekali-kali jadi koruptor, menipu orang, terlibat narkoba dan pekerjaan sejenisnya yang sebenarnya sudah sangat jelas dapat merugikan, merusak orang lain, Negara dan bangsa. “No kalu so bagini Tole, so pasti akan berurusan dengan hukum sampai di penjara. Nanti sadar kalu so di penjara? Malo do’e. Makanya jangan kang?” Bagitu kita pe mama deng papa ada bilang.


Dan ntung saja cintaku, pacarku, atau yang namanya kekasih sayangku, torang dua so sama-sama sepakat menjauhkan diri dari hal-hal itu. Dan sampai sekarang tetap berusaha sedapat mungkin baku-baku tegur, baku-baku tolong di kuliah kong sampe dapa sarjana sama-sama. Karena tape Mama deng Papa bilang le, lebe bagus kata kalu mo tulis tu nama di undangan so ada gelar SARJANA dua-dua.//Bersambung

Cintaku Berbunga di Kampus Berbukit (1) oleh Arie Tulus.


1.

Terus terang kedatanganku di kampus berbukit ini, pada mulanya tidak lebih dan tidak kurang memang hanya untuk mengejar ilmu sebagaimana yang menjadi harapan Ortuku (Orang Tuaku). Rajin hadir  di ruang kuliah, rajin bikin tugas dosen, dan tentunya tidak boleh lalai membayar SPP, dan segala sesuatu yang ada kaitannya dengan kewajiban-kewajiban yang mesti aku lalukan sebagai seorang mahasiswa untuk keberhasilanku nanti, seperti yang menjadi cita-cita mulia teman-temanku yang lain dan tidak bukan demi mengejar dan memperoleh sebuah gelar yang namanya sarjana. Bukankah begitu Bro?

Setiap kali aku akan melangkah keluar rumah kost menuju kampus berbukit ini, selalu saja tergiang-ngiang di telinga dan kepalaku berbagai wejangan dan nasihat dari Ortuku yang mewanti-wanti, agar aku harus tahu menjaga dan membawa dalam situasi dan suasana dimanapun aku berada, apakah ditengah-tengah sahabat, dosen, masyarakat dan pacar? Hehehehehe ....Pacar. Ya, pacaran begitu. Sebuah kata yang menurut Ortuku berdasarkan pengalaman, dan pengamatan di lapangan dunia per-kampus-an bisa menjadi pemicu positif, dan bisa juga sebagai pemicu negatif. Dan untuk persoalan ini tinggal bagaimana seseorang yang punya diri bersangkutan menerjemahkannya dalam kehidupan sehari-hari, termasuk aku yang kini masih sementara menyelesaikan semester yang tersisa di kampus berbukit ini. Maklum Ortuku pernah juga menjadi mahasiswa di perguruan tinggi ini hingga sarjana, tapi pada waktu itu masih berdomisili di Kleak Manado.

Ortuku bilang; Bukan lagi saatnya untuk melarang aku dengan keras untuk tidak boleh pacaran. Apalagi di era dan zaman globalisasi ini? Ortuku juga bilang, aku ini sudah dewasa, dan memang sudah saatnya masukdi situasi dan suasana itu. Cuma lagi-lagi ortuku bilang, aku mesti tahu jaga dan tahu bawa diri. Bahwa pacaran itu penting adanya, tapi kuliah hingga memperoleh gelar sarjana menjadi hal yang teramat penting dan di atas segala-galanya. "Inga bae-bae ne Tole'? Bagitu deng Keke' ngana pe pacar. Bilang akang pa dia ini nasehat. Batona' atau pacaran itu bole-bole skali. Mar itu kuliah jang sampe tabongkar neh? Itu tape Ortu da bilang.// Bersambung





Rabu, 09 Oktober 2013

Kisah-Kisah Asrama SPG Kristen Kuranga Tomohon Bagian 10 - 11 Oleh Arie Tulus

Tampak sebagian dari  penghuni asrama belajar bersama sebelum tidur malam.  Suasana seperti ini tak ada bedanya dengan suasana ketika makan bersama pagi, siang atau malam hari. (Gambar Ilustrasi Arie Tulus)

10. TANGAN
      TANGAN GATAL


          Belum pernah terjadi pada setiap kali akan makan bersama di ruang makan, baik pagi siang atau malam, ada seseorang yang diberi tugas membawakan doa cuma berkata begini; “Teman-teman sekalian, sebelum kita makan mari kita berdoa menurut agama dan kepercayaan kita masing-masing”. Atau berdoa tidak berkata-kata banyak, cuma diam sejenak seperti orang mengheningkan cipta. Atau begitu bilang mari kita berdoa langsung amin saja, diikuti goyang leper. Belum pernah.
Sepanjang sejarah asrama sekolah guru ini hidup, sesungguhnya memang belum pernah terjadi cara-cara seperti itu. Sekalipun ada juga seorang murid yang tidak seiman datang bersekolah dan tinggal di asrama, sikap berdoa bagi pendoa tidak ada bedanya dengan cara-cara orang kristen lainnya berdoa.
Seperti doa-doa yang dipanjatkan pada sebuah acara ucapan syukur, acara pesta pribadi, keluarga atau pada selesai melakukan upacara  bendera  di sekolah,  di kantor   swasta  dan  pemerintah,  sudah menjadi kebiasaan doa-doa yang dimaksud mesti panjang-panjang dan lebar-lebar. Tidak lebih, tidak kurang pada intinya sebagai daftar permintaan bantuan yang  dapat Tuhan lakukan.
Seperti doa makan bersama malam itu,  mesti  juga berisi permintaaan restu dan berkat tentang rencana-rencana ke depan, tentang kesehatan, tentang keberhasilan yang ingin di raih, tentang keamanan, tentang sesama bahkan orang tua yang tengah berusaha banting tulang, sampai pada akhirnya minta berkat melimpah, ampuni dosa yang segaja maupun tidak sengaja dibuat, ampuni mereka yang berbuat jahat, saling mengampuni masing-masing, di tutup dalam nama Tuhan Yesus, Amin.
          Begitu amin, astaga...ikan-ikan yang ada di gundukan nasi hilang terbang begitu cepatnya. Dan yang tersisa tentunya tinggal leper, piring, nasi bersama sayuran.
          Kejadian ini bukan cuma sekali, tapi sudah berulang-ulang terjadi di lokasi yang berbeda. Memang ada mata yang melihat tangan-tangan  itu bergerak dengan cepat. Tapi tak ada yang mau buka mulut karena menyadari mereka perlu diampunni dalam setiap doa. 
     Sudah tentu sipemilik ikan yang mengalami cobaan iman itu, rasa-rasanya tak bernafsu lagi untuk menghabiskan nasi dan sayuran itu, karena ikan sudah menjadi pembangkit selera lidah dan gigi-gigi pada setiap kali rasa lapar itu datang.
       Untuk menjaga agar supaya ikan yang ada di piring masing-masing tetap utuh sampai selama-lamanya amin, sepanjang doa makan  itu masih  mengalir,   ada juga yang kelihatannya berdoa, padahal kedua bola matanya tidak tertutup seluruhnya karena mengawasi tangan-tangan gatal itu.
Tapi, ada satu cara yang  paling ampuh untuk menangkal musibah ini.  Ketika berdoa, kedua tangan tak mesti di julurkan ke bawah, akan tetapi mesti di taruh tepat berada di atas piring membetuk penutup agar supaya lalar-lalar itupun tidak sempat batera atau bateto pa pangana pe ikang.


11. TANDA TANGAN
      ITO’


Apa benar tanda tangan Ito’ begitu mahal dan sangat berharga bagi setiap penghuni asrama? Jawabannya benar. Apa sebab ? Karena sudah menjadi satu-satunya pasal yang wajib diperoleh pada setiap kali ada penghuni asrama punya niat untuk pulkam  alias pulang kampung.
Mengapa mesti tanda tangan Ito’, bukan tanda tangan Om buang, atau Om Yahya ? Karena Ito’ punya wewenang satu-satunya sebagai orang yang diberi kepercayaan selain kepala sekolah, ia juga bertindak sebagai pengawas asrama. Benar atau salah jawaban ini? Pasti ada kebenarannya.
Apakah begitu gampang ngana dapatkan tanda tangan Ito’ ketika surat izin itu di sodorkan padanya ? Ohohohoho, menurut pemandangan berdasarkan kenyataan yang membuktikan, hehehe. Ito’ tidak secepat kilat memberi tanda tangannya.
Apa alasannya ? Ha.., so itu kwak ngana.  Ngana  kira,  ngana  nya’  mo  dapa  interogasi ? Sejumlah pertanyaan bertubi-tubi akan berhadapan deng ngana.
Apa memang butul-butul ngana mo pulang pa ngana pe kampung ? Ato cuma mo trus pa tamang pe kampung ? Ato cuma mo pi baku dapa deng itu tamang bae di kampung ? Ato cuma mo pi beking susah di kampung?
He... tamang,  Ito’ itu kasiang ngana blum lahir so jadi guru. So deng taong makang garam tamba paser, belajar berbagai karakter orang.  
Sekali lagi, jangan harap Ito’ akan langsung secepat itu menandatangani setiap surat isin yang disodorkan padanya. Karena ini menyangkut tanggung jawab yang tidak sembarangan.
Sudah dijemput ortupun jika tidak ada alasan tepat yang benar-benar masuk akal, jangan harap. Ada beberapa kawan putri sampe manangis di asrama karna Ito’ nya’ kase izin. Apalagi waktu itu malam minggu katu’ kang ?
Yang jelas hanya kepada mereka yang memang sudah berbulan-bulan menunggak masalah biaya sekolah maupun biaya makan tidur di asrama,  begitu  mulusnya  mereka  dapat tanda tangan Ito’. Begitu juga dengan mereka yang punya alasan kedukaan atau pergi ambil beras sebagai satu kewajiban yang mesti di setor ke dalam  gudang   beras, so  pasti-pasti akan diijinkan pulkam. Mar, ngoni tahu stau kang? Ada juga penghuni yang begitu berani pulang secara diam-diam.
Jika apel sore yang bersangkutan tidak kelihatan di mata Ito’, sudah pasti ada titipan pesan kepada kawan sebilik jangan sampai Ito’ tahu. Bilang saja ada jalan sore-sore menuju bukit inspirasi belum pulang asrama.
Atau bilang saja sama Ito’ tidak tahu, nanti yang bersangkutan saja pertanggung jawabkan sendiri kenekatannya, bagaimana ia pulang kampung bermodalkan tanda tangan Ito’ yang palsu. Astaga...?

 ------------------------------
Sumber :Buku Kisah-Kisah Asrama SPG Kristen Kuranga Tomohon
             Oleh Arie Tulus, di cetak dan diterbitkan oleh SAT (Sanggar Arts Tomohon) 2008



Lukisan Perjalanan Abstrak > 575 s/d 583 Karya Arie Tulus 2013


Perjalanan Abstrak > 575 Arie Tulus 2013



Perjalanan Abstrak > 576 Arie Tulus 2013



Perjalanan Abstrak > 577 Arie Tulus 2013



Perjalanan Abstrak > 578 Arie Tulus 2013



Perjalanan Abstrak > 579 Arie Tulus 2013



Perjalanan Abstrak > 580 Arie Tulus 2013



Perjalanan Abstrak > 581 Arie Tulus 2013



Perjalanan Abstrak > 582 Arie Tulus 2013




Perjalanan Abstrak > 583 Arie Tulus 2013