6. TOLERANSI
BERASRAMA
Bukan hal yang aneh pabila ada kawan yang belum sempat
pulkam atau belum dapat besuk, ikut menempel pada mereka yang baru membawa atau
dapat forat dari ortu.
Suasana ini sudah bisa dimaklumi, bahkan di antara
beberapa kawan sepertinya sudah menjadikannya semacam bagian dari toleransi berasrama, seperti pinjam meminjam
uang dan saling-saling baku mangarti lainnya.
Tapi dalam hal ini tidak berlaku bagi yang pelit, karena
kelompok ini berpegang teguh pada prinsip hidupnya, ”Kalu nya’ ada cari baminta.
Kalu ada for diri
sandiri “.
7. PETI BAJU
DARI KAYU
Tidak sedikit peti-peti baju dari kayu yang berjejeran di
dalam bilik, sudah tidak berkunci lagi karena telah berkali-kali dicungkil oleh
rasa ingin tahu plus ingin mengambil dari penghuni yang tentunya sudah dapat
bisikan dari luar badannya untuk mencungkil.
Memang ada juga
peti yang di cungkil oleh
pemiliknya sendiri karena kunci peti itu telah hilang, atau disimpan tetangga?
Yang tak akan pernah di cungkil cuma peti dari orang-orang
yang sangat di hormati dan sangat ditakuti di dalam asrama ini. Termasuk peti
baju Ito’ mungkin.
8. SEPATU KETS
KESAYANGAN
Di asrama putra ada seorang kawan, baru saja membeli sepatu
kets yang mahal. Sepasang
sepatu kets berwarna putih bis hitam serba fungsi, karena bisa dipakai
ketika ada mata pelajaran olah raga dari Mner Watung, dan bisa juga dipakai
setiap harinya bersama baju-baju seragam pramuka, putih hitam, dan batik.
Karena mungkin cintanya pada sepatu baru melebihi cinta
pada kekasihnya, sepatu baru itu tak boleh disentuh, tak boleh dipinjam oleh
siapapun dia yang menghuni asrama ini.
Pokoknya sejak sepatu itu tiba di asrama, langsung
diamankan dalam peti kayu kesayangannya. Peti itu di beri kunci slot sedang dan
besar berlengketan bagai sepasang kekasih sedang bercumbu di sudut tempat cuci
piring samping dapur.
Mungkin saja nanti tiba tanggal 17 Agustus baru bisa
digunakannya. Atau bisa saja kemungkinan besar nanti tepat pada hari ulang
tahunnya baru bisa di keluarkan dari peti kayu itu. Satu waktu pulang sekolah, dari ruang makan terdengar ada
suara maki-makian begitu keras di bilik satu. Segala makian
yang sebenarnya menurut guru
agama dan orang-orang beradab, serta orang-orang suci kudus sebagai ucapan yang
bernilai kenajisan tak pantas diucapkan. Lalu, siapakah dia yang memaki-maki itu ?
Apakah ada lagi yang sengaja memabukkan diri dengan cap karena kekasihnya berpindah hati ? Atau ada
perseteruan hingga emosinya tidak terkonrol ?
Dari ruang makan, dan dapur, tampak beberapa pasang mata
memandang ke bukit asrama putra. Ternyata yang memaki-maki itu adalah seorang
kawan pelit, yang tak tega melihat peti bajunya sudah terbuka menganga.
Sementara sepatu kets kesayangannya sudah berbau sengit karena sengaja di
kencingi oleh seseorang yang tidak berani mengaku saat itu.
9. ASRAMA PUTRI
DI ATAS BUKIT ITU
Ada dua tempat yang dijadikan asrama bagi wewene-wewene
manis yang datang dari segala penjuru tanah malesung. Sebuah asrama berada di
atas rumah dinas kepala sekolah, bangunannya berbentuk huruf L menjadikannya
bilik-bilik kamar tidur. Sedangkan lahan yang tersisa di bangun wc, kamar mandi
dan bak penampungan air.
Asrama putri yang berdiri di
atas bukit ini paling istimewa dan aman, bila kita bandingkan dengan asrama
putri yang ada di kompleks lapangan olah raga. Mengapa? Karena asrama putri di
bukit, bagian belakangnya punya pagar tinggi, dan hanya ada satu-satunya pintu
masuk keluar bagi semua penghuni. Pintu ini menghadap ke barat bisa terpantau
dari rumah kepsek. Sementara asrama putri yang ada di bawah itu tidak ada
pengamanan istimewa.
Ada juga seorang pak hansip
yang diberi tugas berjaga-jaga, mondar mandir mengawasi. Pekerjaan ini cuma di
jalankan sewaktu matahari mulai menghilang
di belakang gunung Lokon, hinggga kembali lagi matahari
itu siap-siap terbit di belakang gunung Mahawu. Para penghuni
biasa memanggilnya Om
Wik.
Pertama kali ia berjaga, ada yang bilang, jangan
coba-coba minta izin sama Om Wik untuk bisa keluar dari asrama putri di atas
bukit ketika hari sudah larut malam. Begitu juga dengan tuama-tuama yang ada di
asrama putra, jangan coba-coba membujuk atau merayu Om Wik dengan sebungkus
rokok, cuma karena ingin ambil kesempatan bakudapa deng dia pe sayang-sayang.
Sekali-kali percuma, karena Om Wik sendiri sebelum ia
berdinas sudah di doktrin atasannya untuk berani mengatakan tidak, tidak dan
tidak mengijinkan sama sekali bagi orang-orang dalam dan luar bertingkah
sebebas-bebasnya masuk keluar pada jam tidur malam. Sungguh ketat penjagaannya.
Jangan harap pintu utama itu akan ditinggalkan Om Wik
berlama-lama. Bahkan mungkin pintu itu akan berteriak memanggilnya jika
kaki-kaki Om Wik akan melangkah terlalu jauh dari padanya.
Tapi begitulah yang namanya manusia. Sehebat-hebatnya
dia, toh sekali kelak akan kalah dan
keok juga. Seketat-ketatnya undang-undang dasar dan peraturan-peraturan itu
dibuat dan sekuat-kuatnya iman seorang penjaga berjaga-jaga, sekali kelak pasti
akan kebobolan juga. Termasuk Om Wik sendiri yang ikut membobolnya.
Kau tahu ? Cuma di kasi rokok tiga batang sama-sama minum
cap, keteguhannya rapuh. Bahkan ia sendiri yang mengantarnya sampai di bilik
tujuan.
”Mar...jang bilang pa
sapa-sapa ne, ini rahasia, bukang cuma tuama-tuama yang tinggal di bilik satu
dua deng tiga, yang salalu datang di sini malam-malam. Ada juga orang yang
torang karu’ nya dapa kanal, pernah so tidor-tidor le di bilik, torang kira cw
karna rambu panjang. Padahal pake wik re’en. O, tuhai...!
--------------------
Sumber : Buku Kisah-Kisah Asrama SPG Kristen Kuranga Tomohon
Oleh Arie Tulus Di cetak dan diterbitkan oleh SAT (Sanggar Arts Tomohon) 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar