Minggu, 19 Mei 2013

Kisah-Kisah Asrama SPG Kristen Kuranga Tomohon Bagian 1 dan 2. Oleh Arie Tulus.

KISAH-KISAH ASRAMA 
SPG Kristen Kuranga Tomohon
oleh : Arie Tulus



MOHON MAAF DAN
TERIMA KASIH TAK TERHINGGA

Sebagai penulis mewakili kawan-kawan memohon maaf yang sebesar-besarnya, karena sadar atau tidak sadar selama ada di sekolah dan asrama, banyak kali menimbulkan kenakalan yang pada akhirnya melahirkan kekecewaan bagi kepala sekolah yang juga bertugas sebagai pengawas asrama.
Tidak ada salahnya juga pada kesempatan ini,  mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada yang terhormat Keluarga Drs.A.Lagare-Pangkey yang begitu tabah mengabdikan diri di sekolah dan asrama SPG Kr Kuranga ini, sehingga pada kenyataannya dari perjuangan mereka pula  tercipta berbagai keberhasilan yang telah di raih oleh segenap alumni.
Permohonan maaf dan ucapan terima kasih tak terhingga ini juga di sampaikan kepada para kepala sekolah dan pengawas asrama sebelum dan sesudahnya. Dan kepada segenap guru-guru serta pegawai yang pernah  ikut membantu, membentuk, mendidik kami, sampai sekolah ini menjadi almarhum akibat berbagai kebijakan pemerintah menghapus semua sekolah-sekolah guru yang ada di tanah air Indonesia.
Buku ini ditulis, tidak lebih dan tidak kurang, adalah sebagai rasa kangen terhadap kawan-kawan yang pernah sekolah dan nginap di asrama kurang lebih tiga sampai tiga setengah tahun mendapatkan berbagai pengalaman menarik yang tak bisa dilupakan, hingga masing-masing sudah bekerja sesuai dengan profesi dan keahliannya. Tuhan memberkati. Salam.

Kakaskasen, Tomohon   Medio Januari 2008
Arie Tulus.






1. ITO’
   

Entah siapakah dia yang pertama-tama dapat inspirasi memunculkan nama ini.  Ito’,  begitu  sebutannya.  Sebuah julukan yang begitu cepat menjalar dikalangan anak-anak SPG Kristen kuranga sampai sekolah guru ini mati dibunuh  akibat berbagai kebijakan pemerintah mengatasnamakan demi peningkatan mutu pendidikan.
Kemungkinan besar  julukan ini sudah cukup lama ada, sehingga sampai detik inipun ketika para alumni ketemu di jalan atau melakukan pertemuan secara resmi, pasti teringat si Ito’, bahkan menjadi sebuah kenangan indah bagaimana peran Ito’ terhadap berbagai keberhasilan dan prestasi yang telah dicapai oleh anak-anak yang pernah mendapatkan bimbingan dan pengalaman belajar sekaligus didikannya.
Maaf, sekali lagi maaf beribu-ribu maaf, terutama kepada Ito’. Lebih baik di jelaskan saja, bahwa sebenarnya Julukan Ito’ tidak lain sebagai nama yang dibaptiskan secara spontan, pun  secara  diam-diam  kepada  yang terhormat Bapak Drs. A.Lagare, Kepala Sekolah yang juga bertugas sebagai pengawas  asrama  tanpa diketahuinya. Dan  memang  tak  ada satu  binongkolpun yang begitu berani secara terang-terangan memanggilnya Ito’, sama beraninya memanggil seorang kawan. Seperti misalnya; ”Halo Ito’? ”Mau kemana Ito’ ?  ”Selamat Sore Ito’ !  ”Ito’ sudah makan ?” . Atau begitu berani  bermohon begini;  ”Ito’, minta izin mo pulang kampung !”  Sungguh..., tidak ada yang berani.
Ente juga boleh tanya siapa-siapa yang berani berkata dan memanggilnya Ito’ tepat di depan hidung Ito’ ? Sekali lagi tidak ada yang berani. Ente boleh bayangkan suasana apa yang akan terjadi jika ada di antara kawan-kawan sekolah guru ini yang berani memanggilnya Ito’ ketika berpapasan. Apa yang akan terjadi ? Ente jawab sendiri.
       Jadi begitulah. Memang ada juga yang berani, tapi hal itu cuma bisa mereka lakukan dari jarak jauh sambil sembunyi muka. Atau menyebutnya secara bisik-bisik seperti yang terjadi sore itu. “Awas, Ito’ badatang !”, begitu bisik Ponga’ setengah telanjang ketika melihatnya melangkah menuju asrama putra yang tidak jauh dari ruang makan, sebuah ruang serba fungsi karena   secara  rutin  dijadikan  tempat    belajar seluruh  penghuni   asrama  baik  putra  maupun putri sebelum menuju pulau kapuk untuk istirahat tidur malam.
Seorang lelaki yang  bukan murid Sekolah Pendidikan Guru Kristen Kuranga, ikut lari pontang-panting ketika melihat Antje, Ulik dan Icat tiba-tiba melompat dari katil bersembunyi di kebun   yang  ada   di belakang asrama sekalipun cuma berlingkar handuk. Suasana yang tadinya riuh karena ada yang bermain gitar, catur, bermain kartu, tiba-tiba saja berubah.
Tampak penghuni asrama bilik satu, dua dan tiga ini menyibukkan diri masing-masing. Ada yang pura-pura memegang sapu, melipat pakaian, bersih-bersih tempat tidur, membaca-baca buku, pegang ember, dan ada pula  beberapa di antaranya satu persatu keluar melangkah menuju dapur untuk korve membantu persiapan makan malam. Memang Ito’ paling tidak suka melihat seseorang yang cuma berdiam diri, seperti tidur-tiduran, atau melakukan kegiatan yang sebenarnya tidak ada manfaatnya, apalagi yang namanya bermain kartu. Jadi untuk menyiasati suasana supaya tidak terkesan membuang-buang-buang waktu percuma,  ya berpura-pura seperti itu.
Ternyata  kedatangan Ito’  di asrama putra bukan karena akan menangkap basah beberapa kawan yang baru saja selesai  pesta kecil-kecilan menghabiskan satu botol cap. Tapi dalam    rangka    melakukan    inspeksi     di bak penampungan air yang  digunakan  untuk mandi
dan cuci pakaian. 
Ada mata kran yang tidak lagi berfungsi dengan baik sehingga banyak sekali air yang cuma terbuang begitu saja. Dan untuk mengantisipasinya, Ito’ bersama Yuk membuka mata kran yang sudah rusak itu, lalu  menyumbatnya dengan kayu yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat pula mencabutnya dari mulut ledeng pada saat akan menggunakan air yang tertampung.
Melihat Ito’ sudah menuju asrama putri, maka terdengar lagi suara dari belakang asrama ”Wei... Ito’ so turung !”.







2. TERINGAT
     SI  ITO’


Bagi saya ada juga satu pengalaman menarik yang sampai saat ini tak bisa dilupakan. Pernah pagi-pagi di saat apel sebelum masuk ke dalam kelas masing-masing, mata Ito’ tertuju pada sebuah dasi yang melingkar di leher seorang kawan. Dasi itu hanya di lingkar begitu saja, tidak layaknya sebagaimana dasi itu berfungsi di leher sebagai seorang murid SPG Kristen Kuranga Tomohon.
Perlu diketahui ada hari-hari  tertentu  semuanya  mesti  menggunakan  seragam  putih hitam, lengkap dengan dasinya.   Terus apa yang Ito’ lakukan ? Seorang kawan itu disuruh tampil ke depan, berdiri tepat di samping kanan Ito’. Lalu mulailah Ito’ memberi pelajaran praktis bagaimana cara  terbaik membuka dan mengikat dasi di leher.
Ternyata memang tidak semua murid tahu mengikat dasi di leher. Saya sendiri sebelumnya juga cuma bisa tahu memakai dasi yang sudah siap melingkar di leher, seperti dasi-dasi yang sudah ada tali-talinya tinggal ikat selesai.     Atau bentuk dasi yang sudah ada perekatnya.
Sejak saat itu sampai saat inipun saya sudah tahu persis bagaimana mengikat dasi dengan baik di leher. Lebih dari pada itu, setiap kali berhadapan dengan sebuah dasi yang panjang, sebuah dasi yang masih lurus menyerupai ular kobra, pasti saya teringat bagaimana Ito’ berdiri di depan ketika Ia memberikan wejangan, kedua tangannya jika tidak bersilang di dada,  pasti terjulur ke bawah sambil kunci tangan. Tapi ke dua ibu jari nya selalu saja digerak-gerakan berputar-putar ke muka dan ke belakang, seperti sebuah kincir angin.
Dari situ, saya bisa tau persis bahwa Ito’ memang seorang bapak kepsek dan pengawas asrama yang kreatif, imajinatif, tidak pernah berdiam diri. Punya kedisiplinan yang tinggi, terutama membentuk seseorang itu untuk bisa maju, terdorong melakukan sesuatu yang terbaik bagi diri anak asuhnya sampai bisa lulus jadi guru.
Ia pernah marah besar di ruang belajar malam itu, ketika tahu ada beberapa kawan di asrama putra dan putri tidak turun belajar. Alasan sakit, padahal pergi nonton film di Bioskop Sonya.

---------------
Sumber : Buku Kisah-Kisah Asrama SPG Kristen Kuranga Tomohon 
oleh Arie Tulus Dicetak dan diterbitkan oleh SAT (Sanggar Arts Tomohon) 2008.       









3 komentar:

  1. Terlalu manis untuk dilupakan.Ada rasa bangga menjadi alumni SPG kr.Kuranga Tomohon,walau aku sendiri tak jadi guru.Terimakasih yg tak terhingga utk kel.A.Lagare Pangkei juga kpd seluruh guru2 yg pernah mendidik kami......Salam kangen utk semua alumni Spg kr.Kuranga Tomohon....GBU.....

    BalasHapus
  2. wenny watung, Ada banyak pengalaman yang di dapat selama di didik di SPG Kr Kuranga Tomohon. Jadi Guru atau tidak sebenarnya bukanlah sebuah persoalan mendasar, tapi yang penting disini bagaimana bisa menempatkan hidup dan pengalaman itu untuk menjadi lebih baik dari hari ini. Pengalaman di di sekolah guru tempo dulu takkan pernah terulang, dan itu tinggal menjadi sebuah catatan perjalanan yang manis untuk di kenang, dan bisa saja diceritakan kepada siapa saja termasuk mungkin anak-anak kita (tentu yang memiliki nilai-nilai positif). hehehe

    BalasHapus
  3. Di Asrama banyak suka duka yg dihadapi tapi semua ada hikmahnya.... Keluarga Mener Lagare Pangkei adalah orang tuaku... Perna saya tidak menghabiskan nasih,... Saya distraf makan didepan ibu Asarama... Perna saya keluar tanpa izin distraf di Gudang beras.... Ini pengalaman yg luar biasa disiplin yg tinggi mendidik aku sehingga bisa mandiri....., aku bisa berhasil mendidik anak2ku karena ilmu yg kudapatkan dari Asrama SPG Kr Tomohon we Love SPG Kr Tomohon.... Walaupun aku tdk menjadi guru latar belakangku dari sini,,.. Menjadi wanita Karir Wiraswasta...

    BalasHapus